December 02, 2015

Konsep Manusia Menurut Psikologi dan Islam

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki banyak keistimewaan baik struktur dan fungsi-fungsi tubuhnya, manusia juga memiliki kualitas-kualitas insani yang unik. Manusia adalah makhluk yang asadar akan minat,bakat,sifat dan sikap serta kemampuan dan ketrampilan, tahu apa yang dilakukannya sekarang, memahami sejarah hidupnya, serta mempunyai gambaran apa yang didambakannya dimasa yang akan datang.
Sejak awal manusia tidak pernah terlepas dari makhluk lain. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah keluarga, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan masih banyak relasi-relasi hubungan sosial yang lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti dia mendapat pengaruh dari lingkungannya. Tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak pada lingkungan sekitarnya.
Manusia merupak misteri. Maka dari itu dalam makalh ini akan dibahas kebih lanjut mengenai bagaimana psikologi memandang manusia dan bagaimana islam memandang manusia serta bagaimana perbandingan konsep manusia menurut psikologi dan menurut islam.

    B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini antara lain adalah:
1.      Bagaimana konsep manusia menurut psikologi?
2.      Bagaimana konsep manusia menurut islam?
3.      Bagaimana perbandingan konsep manusia menurut psikologi dan islam?

PEMBAHASAN
    1. Konsep Manusia Menurut Psikologi
Pertanyaan tentang apa hakikat manusia sebenarnya adalah pertanyaan kuno, karena sepanjang sejarah manusia hal ini selalu ditanyakan. Banyak teori psikologi yang berusaha menjawab tentang pertanyaan hakikat manusia namun setidaknya ada empat pendekatan yang digunakan, yaitu:
a.       Teori Psikoanalisa
Tokoh dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatian teori psikoanalisa ditunjukkan kepada struktur manusia, yaitu kepada totalitas kepribadian manusia, bukan kepada bagian-bagiannya yang terpisah. Menurut teori ini perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari tiga subsistem dalam kepribadian manusia, antara lain:
                                                        i.            Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id merupakan pusat instink, atau pusat hawa nafsu menurut bahasa agama. Menurut Freud, ada dua instink id yang dominan pada subsistem id ini, yaitu Libido atau Eros dan Thanatos.
1)      Libido merupakan instink reproduksi yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif.
2)      Thanatos adalah instink destruktif dan agresif. Dorongan-dorongan untuk melawan dan merusak bersumber dari instink ini. Motif-motif manusia sebenarnya merupakan gabungan antara eros dan thanatos, antara instink kehidupan dan instink kematian. Id, seperti halnya hawa nafsu ingin segera memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kesenangan.
                                                      ii.            Ego. Ketika seorang pemuda terserempet oleh mobil ugal-ugalan, maka Id-nya (baca: hawa nafsu) ingin memukul kepada sopir yang kurang ajar itu. Tetapi ketika diketahui bahwa supir ugal-ugalan itu ternyata anak dari pak guru yang selama ini menolong membiayai studi anak muda itu maka ketika itu Ego bekerja menjembatani nafsu yang tidak bermoral dan tidak peduli terhadap realitas dengan realitas bahwa supir itu adalah anak dari orang yang dia hormati dan berjasa. Ego memperingatkan bahwa tindakan hakim sendiri terhadap orang yang sudah dikenal akan berakibat serius dibelakang hari. Jadi, Ego adalah subsistem yang berfungsi menjembatani tuntunan Id dengan realitas di dunia luar. Ego menjadi penengah antara dorongan-dorongan hewani manusia dengan pertimbangan-pertingan rasional dan realitas. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Dengan Ego maka manusia mampu menundukkan hasrat hewaniyah untuk hidup secara rasional sesuai dengan realitas yang dihadapinya.
                                                    iii.            Superego . Sebagai subsistem yang ketiga ini dapat dikatakan mewakili hal-hal yang ideal. Superego menyerap norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia bukan hanya rasional tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip nilai yang normatif. Oleh karena itu superego dapat disebut sebagai hati nurani dan sebagi pengawas kepribadian. Jika suatu ketika ego seseorang menuntut untuk menikahi seorang gadis karena lamaran sudah diterima dan ia mampu untuk itu, tetapi disisi lain orang itu tahu bahwa gadis itu telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya dan bahwa ia hanya terpaksa terpaksa menuruti kemauan ayahnya yang “mata duitan”, maka superego akan menekan hasrat ego ke alam bawah sadar. Meski dengan uang uang dan kekuasaan seseorang akan merasa mampu mengatur perkawinan, tetapi hati nuraninya tidak saanggup menzalimi dua orang yang sedang berkasih- kasihan. Jika ia memaksakan diri menikahi gadis itu tetapi kemudian sang gadis bunuh diri, maka ia akan merasa dihukum superego dengan penyeselan dan perasaan bersalah. Menurut freud, ego terkadang tunduk kepada kemauan id, terkadang kepada superego. Baik id maupun superego berada dialam bawah sadar manusia, ego lah yang berada di tengah, yaitu antara memenuhi tuntutan moral ( hati nurani atau superego ).
Jadi, menurut teori psikoanalisa, tingkah laku manusia itu sebenarnya merupakan interaksi antara tiga subsistem itu, yaitu komponen biologis (hawa nafsu, Id) komponen psikologis (ego) dan komponen sosial (superego), antara unsur hewani, akali dan nilai atau moral.
b.      Teori Behaviourisme
Jika psikoanalisa memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa yang ada di balik tingkah laku manusia (yang tidak tampak), maka teori psikologi behaviourisme memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak saja, yakni perilaku yang dapat diukur, diramal dan dulukiskan. Jadi, nampak sekali bahwa behaviorisme merupakan reaksi terhadap teori psikoanalisa.
Manusia, oleh teori behaviourisme disebut sebagai Homo Mechanicus, artinya manusia mesin. Mesin adalah suatu benda yang bekerja tanpa ada motif dibelakangnya. Mesin berjalan tidak karena adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan sistemnya. Jika mobil kehabisan bensin pasti tidak hidup, jika businya kotor juga mesin mati, jika unsur-unsur lingkungannya lengkap pasti berjalan lancar. Tingkah laku mesin dapat di ukur, diramal, dan dilukiskan. Manusia menurut teori behaviorisme juga demikian. Selain instink, seluruh tingkah lakunya merupakan hasil belajar. Belajar ialah perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Orang batak yang hidupnya dipinggir pantai laut bicaranya selalu keras, karena lingkungan menuntut untuk keras, yakni bersaing dengan suara ombak,sedangkan orang jawa yang hidupnya diperkampungan yang lengang, bicaranya seperti bisik-bisik, karena lingkungan tidak menuntut suara keras, bisik-bisik pun sudah terdengar.
Behaviourisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau jelek, rasional atau emosional. Behaviourisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh lingkungan. Manusia dalam pandangan teori behaviourisme adalah makhluk yang sangat plastis, yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh pengalamannya. Manusia menurut teori ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Seorang anak misalnya dapat dibentuk perilakunya menjadi seorang penakut jika secara sistematis ia ditakut-takuti. Demikian juga manusia dapat dibentuk menjadi pemberani, disiplin, cerdas, dungu dan sebagainya dengan menciptakan lingkungan yang relevan.
Dalam teori ini manusia dipandang sangat rapuh tak berdaya menghadapi lingkungan. Ia dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa mampu melakukan perlawanan. Aristoteles, yang dianggap sebagai cikal bakal teori behaviourisme memperkenalkan teori tabula rasa, yakni bahwa manusia itu tak ubahnya meja lilin yang siap dilukis dengan tulisan apa saja. Jika kita berpegang kepada teori ini maka kita dapat mengatakan bahwa mahasiswa dapat dibentuk menjadi apa saja (penurut, pemberontak, dan sebagainya) oleh dosennya atau oleh universitasnya, dan untuk itu kurikulum serta alat-alat stilmulasinya bisa dirancang.
Sudah barang tentu teori ini banyak juga yang mengkritik karena teori ini tidak dapat menjawab fenomena perilaku yang hanya bisa diuraikan dengan motif, misalnya bagaimana seorang raja muda yang justru meniggalkan tahta hanya untuk hidup menjadi sufi, (sidarta gautama, atau ibrahim bin adham), atau para pendaki gunung yang mempertaruhkan nyawanya , atau pejuang yang melakukan serangan kamikaze(bunuh diri) dengan meledakkan dirinya bersama bom yang dibawanya.
c.       Teori Psikologi Kognitif
Jika behaviourisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersikap terhadap lingkungan maka psikologi kognitif menempatkan manusia sebagai makhluk yang bereaksi secara aktif terhadap lingkungan, yakni dengan cara berpikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka manusia menurut teori kognitif ini disebut sebagai homo sapien, yakni manusia yang berfikir.
Pusat perhatian teori kognitif adalah pada bagaimana manusia memberi makna kepada stimuli. Orang yang selalu sitakut-takuti, misalnya tidak mesti menjadi penakut seperti yang dikatakan dalam teori behaviourisme tetapi boleh jadi ia akan berpikir bahwa sesuatu yang menakutkan itu harus dilawan. Ia pun mungkin berfikir bahwa ia ingin membalik keadaan yaitu justru ingin membuat takut kepada orang yang suka menakut-nakuti.
Jadi menurut teori ini, manusia tidak secara otomatis memberikan respon kepada stimuli, tidak otomatis takut jika ditakut-takuti, tidak otomatis senang jika ada orang tersenyum kepadanya, tidak otomatis patuh jika atasan menyuruhnya, tetapi ia aktif menafsirkan stimuli yang dihadapinya. Ia berfikir apakah orang yang menakut-nakuti itu memang orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasih sayang atau senyuman gombal, apakah perintah atasan itu pantas dikerjakan atau tidak, dan sebagainya. Jadi secara psikologis manusia adalah organisme yang aktif menafsirkan, bahkan mendistorsi lingkungan.
Teori kognitif memang telah menempatkan kembali manusia sebagai makhluk yang berjiwa, yang bukan hanya berfikir, tetapi juga berusaha menemukan identitas dirinya.
d.      Teori psikologi Humanistik
Psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreatifitas, nilai dan makna serta pertumbuhan pribadi. Pusat perhatian teori humanisme adalah pada makna kehidupan, masalah ini dalam psikologi humanistis disebut Homo luden, yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan.
Menurut teori psikologi humanistik ini, setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik), dan kehidupannya berpusat pada dirinya itu. Perilaku manusia bukan dikendalikan oleh keinginan bawah sadarnya (seperti teori psikoanalisa), bukan pula tunduk pada lingkungannya ( seperti teori behaviourisme), tetapi berpusat pada konsep diri, yaitu pandangan atau persepsi orang terhadap dirinya yang bisa berubah-ubah dan fleksibel sesuai dengan pengalamannya dengan orang lain.
Psikologi humanistik memandang positif manusia. Menurut teori ini, manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya. Manusia juga cenderung ingin selalu mengkatualisasikan dirinya dalam kehidupan yang bermakna. Setiap individu bereaksi terhadap situasi yang dihadapinya (stimuli) sesuai konsep diri yang dimilikinya, an dunia dimana ia hidup. Kecenderungan batiniah manusia selalu menuju kepada kesehatan dan keutuhan diri. Jadi, dalam keadaan normal manusia cenderung berperilaku rasional dan membangun (konstruktif) ia juga cenderung memilih jalan (pekerjaan, karir atas jalan hidup) yang mendukung perkembangan dan aktualisasi dirinya.[1]

   2. Konsep Manusia Menurut Islam
Dalam al-Qur’an dan Hadist banyak disebut tentang manusia menyangkut statusnya, hak, dan kewajibannya serta sifat dan kecenderungannya. Dalam konteks Psikologi Dakwah, pembahasan yang relevan adalah sisi dalam yang ada pada manusia yang mempengaruhi perilaku, baik akal, hati, maupun tabiat-tabiat dasar manusia lainnya.
Sangat menarik dalam al-Qur’an manusia disebut dengan nama insan (mahluk psikologis), basyar (sebutan umum minus karakteristik), bani adam (biologis). Nama Insan berasal dari kata nasiya-yansa (lupa), uns (mesra) dan nasa yanusu (bergejolak). Insan mengadung pengertian makhluk psikologis yang memiliki tabiat kemesraan, lupa dan bergejolak. Jadi dari segi bahasa saja sudah tergambar kualitas psikologis manusia yang dinamis antara sadar dan lupa, mesra dan benci dan bergejolak dan tenang. Sinergi dari positif dan negatifnya potensi itu menentukan tingkat kemartabatan manusia. Sehingga dapat dijumpai ada orang yang cinta buta, ada orang yang secara sadar melakukan kejahatan karena didorong oleh kebencian, ada orang yang gelisah karena terlanjur berbuat salah, dan ada juga yang dengan tenang melakukan kejahatan.
Ada dua status yang disandang manusia seperti yang dimaksud dalam al-Qur’an menggambarkan kebesaran sekaligus kelemahan manusia, yaitu status sebagai kholifah Allah dan sebagai hamba-Nya atau ‘abdullah. Jadi manusia menurut al-Qur’an adalah besar padasatu dimensi, tetapi juga kecil menurut dimensi yang lain. Barangkali karena dua dimensi yang bertentangan ini lah maka manusia dalam merespon masalah terkadang berjiwa besar, sportif, namun dilain kesempatan dia memiliki sifat penakut, curang, putus asa dan lain-lain.[2]
Manusia sebagai makhluk psikologis adalah makhluk yang berfikir, merasakan, dan berkehendak. Manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi, lahir dan batin, jiwa dan raga. Nafs (jiwa) sebagai sisi dalam manusia disebut al-Qur’an sebagai sistem, (boleh disebut sistem nafsani) yang memiliki subsistem qalb (hati) ‘aql (akal), bashiroh (hati nurani), syahwat (penggerak perilaku) dan hawa (hawa nafsu sebagai kekuatan penguji).
1)      Tentang Nafs (Jiwa) atau Sistem Nafsani
Dalam bahasa Indonesia nafsu dikatakan sebagai dorongan nafsu yang kuat untuk berbuat kurang baik. Al-Qur’an menjelaskan bahwa nafs diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna, lengkap dan mampu menengarai keburukan dan kebaikan.

2)      Kualitas Nafs dan Tingkatannya
Kualitas Nafs seseorang bisa meningkat dan menurun, berkaitan dengan sistem yang melibatkan tabiat dan fitrah. Secara eksplisit al-Qur’an menyebut ada empat jenis nafs, yaitu:
a)      Ketika bayi manusia lahir jiwa bayi itu dalam keadaan suci bersih secara fitri. Nah jiwanya disebut nafzakiyyah, jiwa yang suci secara suci.
b)      Ketika seseorang mencapai tingkat kesadarannya, dan berjumpa dengan realitas hidup berupa kebaikan dan keburukan, hati kecilnya tetap ingin berada di jalur kebenaran, tetapi daya tarik keburukan sangat kuat sehingga suka tergoda, terjebak dalam keburukan. Ia sangat menyesali perbuatannya, tetapi masih terulng pula perbuatan buruk itu. jiwa dalam keadaan demikian disebut nafs lawwamah, yaitu jiwa yang selalu menyesali dirinya terjerumus kedalam keburukan.
c)      Ketika kesadaran terkalahkan oleh godaan keburukan, ketika akal sehatnya terkalahkan oleh hawa nafsu bahkan dikendalikan oleh keburukan maka nafs dalam keadaan seperti itu disebut an nafs al ammarah bissu’, yaitu jiwa yang selalu cenderung kepada keburukan.
d)     Ketika seseorang kesadarannya meningkat tinggi dan orientasinya hanya kepada kebaikan, tetapi dalam satu dua hal masih tak tahan godaan, maka jiwa dalam keadaan seperti itu disebut nafs musawwilah, yaitu jiwa yang bersih tetapi masih tak tahan denga satu atau dua godaan.
e)      Jika seseorang sudah sepenuhnya dikendalikan oleh kesadaran dan perilakunya konsisten dan istiqomah terhadap kebenaran serta alergi terhadap keburukan baik horisontal maupun vertikal, maka jiwa seperti itu disebut nafs mutmainah, yakni jiwa yang tenang.
3)      Sistem Kerja Nafs
Kerja nafs  itu bersistem dan memiliki subsistem dengan qalb (hati) menjadi manajernya. Oleh karena itu sering dikatakan, orang itu bergantung hatinya, jika hatinya baik maka perbuatannya baik, jika hatinya buruk maka perbuatannya buruk. Nafs menampung apa yang sudah tidak disadari (alam bawah sadar) sedangkan hal-hal yang disadari berada dalam kendali qalb (hati), oleh karena itu pahala dan dosa dihitung dari perbuatan yang disadari oleh hati.
4)      Tentang Qalb (Hati)
Secara lughawi qalbu artinya bolak bailik, merujuk pada hati manusia yang tidak konsisten atau bolak-balik. Dalam perspektif psikologi, qalbu atau kalbu atau hati adalah bagaikan kamar yang berada didalam ruang nafs yang luas. Berbeda dengan nafs yang hanya menampung hal-hal yang sudah tidak disadari, maka memori qalb atau hati menampung hal-hal yang sepenuhnya disadari.
5)      Tentang Nurani
Nurani berasal dari kata arab nur (nuraniyyun) yang artinya cahaya. Jadi hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati sebagai lubuk hati yang dalam dan ia bersifat cahaya yang menerangi. 
6)      Tentang Akal
Akal yang berasal dari bahasa arab aqala artinya adalah mengikat atau menahan tetapi secara umum akal itu dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Namun menurut al-qur’an manusia dalam aktifitas berfikit dan merasa tidak mesti hanya menggunakan akal atau hanya hati, tetapi seperti kesemuanya (a’ql, nafs, qalb, basyirah).
7)      Tentang Syahwat
Secara lughawi syahwat artinya menyukai dan menyenangi, sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya.
8)      Tentang Hawa (Hawa Nafsu)
Hawa mengandung arti kecenderungan kepada syahwat, juga mengandung arti turun dari atas kebawah. Jadi hawa (hawa nafsu) adalah dorongan kepada syahwat yang bersifat rendah.[3]

    3. Perbandingan Konsep Manusia Menurut Psikologi dan Islam
Konsep manusia menurut psikologi sekurang-kurangnya ada empat pendekatan yaitu teori psikoanalisa yang mengatakan bahwa manusia disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeinginan, yakni makhluk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam, yang terpendam dialam bawah sadar. Teori psikoanalisa memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa yang dibalik tingkah laku manusia (yang tidak tampak). Menurut teori Behaviourisme  manusia disebut sebagai Homo Mechanicus, artinya manusia mesin. Mesin berjalan tidak karena adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan sistemnya. Teori behaviourisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersikap pasif terhadap lingkungan. Menurut teori psikologi kognitif disebut sebagai Homo Sapiens, yakni manusia yang berfikir. Disini manusia sebagai makhluk yang bereaksi secara aktif dan meresponnya dengan pikiran yang dimilikinya.
Islam memandang manusia sebagai makhluk tuhan yang memiliki keunikan dan keistimewaan tertentu. Sebagai salah satu makhlukNya karakteristik eksistensi manusia harus dicari dalam relasi dengan sang pencipta dan makhluk-makhluk Tuhan lainnnya. Sekurang-kurangnya terdapat empat ragam relasi manusia yang masing-masing memiliki kutub positif dan negatif, yaitu :
                                i.            Hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablun minannas) yang ditandai oleh kesadaran untuk melakukan ‘amal ma’ruf nahi munkar atau sebaliknya mengumbar nafsu-nafsu rendah.
                              ii.            Hubungan antar manusia (hablun minannas) dengan usaha membina silaturrahmi atau memutuskannya.
                            iii.            Hubungan manusia dengan alam sekitar (hablun minal ‘alam) yang ditandai upaya pelestarian dan pemanfaatn alam dengan sebaik-baiknya atau sebaliknya menimbulkan kerusakan alam.
                            iv.            Hubungan manusia dengan sang pencipta (bablun minallah) dengan kewajiban ibadah kepadanya atau menjadi ingkar dan syirik kepadaNya.
Mengenai ragam dan corak relasi-relasi itu perlu dijelaskan bahwa sekalipun manusia seakan-akan merupakan pusat hubungan-hubungan (center of relatedness), tetapi dalam ajaran islam pusat segalanya bukanlah manusia, melainkan sang pencipta sendiri yaitu Allahu Rabbal ‘alamin. Dengan demikian landasan filsafat mengenai manusia dalam ajaran islam bukan antroposentrisme, melainkan Theosentrisme, atau lebih tepat Allah sentrisme.[4]

DAFTAR PUSTAKA
Bastaman,Hanna Djumhana . Integrasi Psikologi dengan Islam ,(Jakarta: pustaka pelajar,2011).
Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press, 2014) .



[1] Prof. Dr.H.achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press, 2014) hal. 44-54.
[2] Prof. Dr.H.achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press, 2014) hal.55-56
[3] Prof. Dr.H.achmad Mubarok, MA, Psikologi Dakwah, (Malang:Madani Press, 2014) hal.62-71
[4] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam ,(Jakarta: pustaka pelajar,2011)hal.54

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Baca Online dan Seputar Blog
| Distributed By Gooyaabi Templates